Alex Suherman
Balas budi, bukanlah sebuah sikap yang diharamkan.
Info Media Nasional News - Dalam mengarungi kehidupan, yang
nama nya balas budi, boleh jadi merupakan sebuah kepantasan. Bangsa
kita, dikenali sebagai bangsa yang selalu mengedepankan rasa
kekeluargaan. Hal ini pun jelas tersirat dalam konstitusi kita, dimana
dalam Pasal 33 UUD 1945 jelas-jelas ditegaskan "perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan". Prinsip "kekeluargaan" sendiri
tentu nya bukan hanya berlaku dalam kehidupan perekonomian semata, namun sikap
yang demikian, berlaku pula dalam bidang kehidupan yang lain nya, termasuk
dalam kehidupan politik, sosial dan budaya.
Balas budi sendiri merupakan sebuah sikap yang
sangat luhur. Di dalam nya terkandung makna penghargaan dan
penghormatan terhadap kiprah seseorang yang basis utama nya dicirikan
oleh ada nya prinsip saling tolong menolong. Balas budi benar-benar sebuah sikap
yang terpuji, selama dalam praktek nya tidak dibumbui oleh intrik atau pun
kepentingan-kepentingan tertentu. Selain itu, balas budi juga merupakan sebuah
wujud dari kasih sayang sesama warga bangsa atas apa-apa yang
dikiprahkan dalam kehidupan. Itulah sebab nya, mengapa banyak pihak yang
mempersepsikan balas budi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari indah
nya sebuah kehidupan.
Sikap tolong menolong, bantu membantu, bahu
membahu, bukan hal yang baru dalam mengarungi kehidupan. Bangsa kita dikenal
dengan kegotong-royongan nya. Kaedah"berat sama dipikul ringan sama
dijinjing", sudah menjadi komitmen kehidupan. Begitu pun dengan
makna "berbagi pikir" dan "bersambung rasa". Sebagai bangsa
yang menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan, saling menghargai dan saling
membutuhkan, mesti nya yang dimaksud dengan balas budi janganlah dianggap
sebagai seuatu yang ditabukan. Jadikan lah balas budi sebagai hal yang biasa,
selama tidak melanggar norma dan etika kehidupan, baik itu dalam kehidupan
berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Dalam kaitan nya dengan kehidupan politik,
makna balas budi seringkali dipersepsikan ke dalam beragam tafsir. Umum nya
akan lebih mengedepan hal-hal yang negatif dari pada yang positif nya. Sebutlah
sebuah teladan tentang pemberian posisi kepada seorang anggota tim sukses yang
dianggap berjasa dikarenakan yang bersangkutan mampu menghantarkan sang pemberi
posisi ke sebuah jabatan publik. Terlepas apakah perlakuan yang demikian
dinilai sebagai politik balas budi atau pun bukan, namun jika yang bersangkutan
memang memiliki potensi, kapasitas dan kompetenti yang mumpuni untuk menduduki
posisi tersebut, mesti nya hal yang demikian tidak perlu dipersoalkan. Lain
cerita jika orang tersebut memang sangat bertolak-belakang dengan apa yang
dijabat nya, baik dari disiplin keilmuan, jam terbang pengalaman nya atau pun
kredibilitas pribadi nya. Suatu hal yang wajar jika kemudian ada yang melakukan
penggugatan.
Suasana yang selama ini terekam, khusus nya
dalam panggung politik nasional dan juga di beberapa daerah, fenomena politik
balas budi ini, terlihat sudah transparan. Tidak sedikit jabatan-jabatan
strategis lebih diprioritaskan untuk "diberikan" kepada
orang dekat sang pejabat. Lebih tegas nya suatu hal yang tidak mungkin terjadi
bila posisi-posisi kunci itu diberikan kepada orang lain yang dalam bahasa
Sunda disebut "teu mais teu meuleum" (tidak memepes dan tidak
membakar). Prioritas utama pasti diberikan kepada orang kepercayaan nya.
Setelah itu baru koalisi yang menopang nya. Hanya agar kesan demokrasi dapat
dipenuhi, baru lah yang lain diberi kesempatan, sekali pun dipasang hanya
sebagai pemantes demokrasi semata.
Politik balas budi, memang sudah terbuka, yang
terkadang cukup telanjang. Selama hal itu ditempuh dengan menggunakan akal
sehat, tentu semua pihak akan memaklumi nya. Sayang, dalam beberapa kasus
terkadang ada juga yang dipaksakan. Orang yang tidak memahami soal kemiskinan
misal nya dipaksa untuk menjadi Menteri Kemiskinan. Orang
yang tidak memahami soal kekayaan, lalu diposisikan sebagai Menteri
Kekayaan. Lebih sedih lagi adalah sekalipun sudah di protes,
ternyata pejabat yang memposisikannya tetap ngotot atas keputusan nya. Rumor :
kata saya soto ayam, itulah soto ayam, padahal yang sebenar
nya dihidangkan adalah tongseng kambing, kerapkali mengemuka
menjadi seloroh yang memilukan bagi pendidikan politik rakyat.
Kini inti masalah nya sudah mulai tergambarkan.
Kalau balas budi dijadikan komoditi politik, maka tafsir nya dapat macam-macam.
Untuk itu, agar tidak salah persepsi, sebaik nya balas budi jangan dipolitisir,
namun cukup dijadikan bagian dari silaturahmi saja. ( Alex Suherman – Sekretaris
PAC PDI Perjuangan Bekasi Utara ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar