Mugiyanto menghilangkan trauma dengan mendampingi keluarga korban penculikan.
Mugiyanto, salah-seorang korban
penculikan Tim Mawar Kopassus di tahun 1998, memilih mendampingi
keluarga korban penculikan demi mencari keadilan.
Lima belas tahun silam, tepatnya di sebuah
petang nan muram, 13 Maret 1998, Mugiyanto diculik oleh beberapa orang
dari rumah kontrakannya di Jakarta Timur.
Ketika itu situasi politik Indonesia
memasuki fase genting, tatkala tuntutan mahasiswa dan kekuatan oposisi
agar Presiden Suharto turun dari kursi dari kursi kekuasaan, makin
menguat.
Di saat itulah, bersama sejumlah rekannya sesama
aktivis Partai Rakyat Demokratik, PRD, pria kelahiran 1973 ini diambil
secara paksa oleh sekelompok orang -- yang belakangan diketahui
pelakunya adalah anggota pasukan elit Angkatan Darat, Kopassus, melalui
tim kecil yang disebut Tim Mawar…
Mugiyanto
(kiri), Aan Rusdianto dan Nezar Patria, tiga aktivis PRD, menggelar
jumpa pers di kantor YLBHI, 1998, beberapa pekan setelah dibebaskan.
Digelandang dengan mata tertutup ke sebuah
tempat (di markas Kopassus, Cijantung, Jakarta Timur), Mugi – demikian
sapaan akrabnya -- dan sebagian kawan-kawannya, lantas disiksa, diteror,
serta diinterogasi…
Mugiyanto (yang ketika itu berstatus mahasiswa
Fakultas Sastra, UGM, Yogyakarta, dan berusia 25 tahun) dan lima aktivis
PRD lainnya termasuk beruntung, karena kemudian dia berhasil
dilepaskan, tetapi tidak bagi 13 aktivis lainnya -- yang nasibnya belum
jelas sampai sekarang.
Sekitar dua tahun setelah dibebaskan, dan masih
dihantui semacam trauma, Mugi justru “terpanggil” untuk bergabung dengan
keluarga korban penculikan, demi mencari keadilan.
"Dalam beberapa hal, saya merasa ini hidup kedua
saya,” kata Mugi agak menerawang, menjelaskan latar belakang pilihannya
itu, dalam wawancara khusus dengan wartawan BBC Indonesia, Heyder
Affan, Selasa, 26 Maret 2013 lalu.
“Karena,” lanjutnya, “saya pernah berada dalam situasi di mana hidup dan mati itu batasnya sangat tipis”.
"Dalam
beberapa hal, saya merasa ini hidup kedua saya. Karena, saya pernah
berada dalam situasi di mana hidup dan mati itu batasnya sangat tipis..."
“Ya, sebagai rasa bersyukur bahwa saya adalah
orang yang beruntung (karena masih hidup), maka membuat saya kemudian
untuk bersama dengan mereka (keluarga korban penculikan).”
Melibatkan keluarga orang hilang dan didukung
pegiat HAM lainnya, Mugi mendirikan Ikatan Keluarga Orang Hilang
Indonesia (Ikohi), untuk mengetahui keberadaan mereka yang masih hilang
(“Setidaknya, kalau mereka meninggal, dimana mereka dikuburkan,” kata
Mugi), serta mendesak diberikannya hukuman setimpal kepada pelaku
utamanya.
“Saya menjadi seperti terpanggil setelah melihat
bahwa keluarga korban masih semangat, dan menginginkan keadilan
ditegakkan”, Mugi lebih lanjut menjelaskan.
Hal ini dia lakukan juga tidak terlepas dari
sikap politisi di parlemen, yang menurutnya, “sama sekali tidak ada
komitmen terhadap penegakan HAM terhadap penyelesaian kasus ini, padahal
mereka adalah orang-orang yang menikmati buah perjuangan kawan-kawan
yang hilang”.
Bunyi ‘ctak,ctak’
Apa yang terjadi di ruangan penyiksaan di
salah-satu ruangan di Markas Kopassus Cijantung, yang terjadi lima belas
tahun silam, masih menyentak alam sadar Mugiyanto -- hingga saat ini.
Para aktivis korban penculikan di tahun 1997-1998 yang belum kembali.
(Dalam situs pribadinya, Mugiyanto menggambarkan suasana penyiksaan yang dialaminya: “
Mata
ditutup, dua tangan dan dua kaki diikat di tempat tidur velbed. Hanya
memakai celana dalam. Di sana ada suara sirine yang meraung-raung, suhu
ruangan yang sangat dingin, dan alat setrum listrik yang bunyinya
seperti cambuk…)
Selama dua hari, 13-15 Maret 1998, Mugiyanto mengaku disekap, diinterogasi, dan disiksa.
“Sampai sekarang, bisa dikatakan saya belum bisa sepenuhnya menghilangkan trauma,” aku Mugi, dengan nada datar.
Tak gampang untuk menghilangkan trauma, katanya.
“Prosesnya memang lama, memang butuh waktu”.
"Terutama
ketika saya mendengar seperti cambuk, yang mana itu adalah suara setrum
listrik: ctak, ctak, ctak…Saya setiap mendengar suara itu, langsung
teringat masa lalu... "
“Terutama ketika saya mendengar seperti cambuk, yang mana itu adalah suara setrum listrik.
“
Ctak, ctak, ctak…”
“Saya setiap mendengar suara itu, langsung teringat masa lalu, ” ujar Mugi.
“Sama mendengar
handi talkie, karena itu alat komunikasi yang dipakai orang yang menculik saya pada waktu itu, ketika mata saya ditutup”.
(“
Rumah kontrakan saya sudah dikepung. Badan
saya melemas. Saya sudah membayangkan kematian. Lalu dengan tenaga
tersisa, saya raih saklar untuk mematikan lampu. Persis pada saat itulah
mereka menggedor rumah. “Buka pintu! Buka pintu!”. Kunci pintu kubuka,
lalu sekitar 10 orang masuk…”)
Melawan trauma
Sempat diinterogasi di Koramil Duren Sawit Jakarta Timur, Mugi kemudian dibawa ke Markas Kopassus Cijantung.
Selama dua hari, di tempat itu, Mugi ditempatkan satu sel dengan aktivis PRD Nezar Patria dan Aan Rusdiyanto.
Walaupun matanya ditutup rapat, pria asal Jepara ini mampu mengenali suara dua rekannya itu.
Kepada wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, Mugiyanto menjelaskan langkah-langkahnya menghilangkan trauma.
(Dalam kesaksiannya, di kantor YLBHI, 20 Juni 1998, yang saya hadiri, Mugiyanto menuliskannya kesaksiannya: “
Ada
juga sarana siksa yang sangat mengerikan, para penculik sengaja
memperdengarkan suara jeritan orang lain yang sedang disiksa…”)
“Saya tahu dari teriakannya waktu disiksa,” katanya, suatu saat.
Bagaimana Anda bisa ‘kuat’ kembali, dan kemudian
memilih terjun total bersama keluarga korban penculikan untuk mencari
keadilan? Tanya saya.
“Cara saya menghadapi trauma,” ungkapnya, “bukan dengan menjauhi dunia ini, dari dunia hak asasi manusia, dari para korban”.
“Tapi,” imbuhnya, dengan nada lantang,” saya mengintegrasikan diri saya bersama-sama dengan mereka”.
“Saya menulis, saya berbicara, saya bercerita, itu proses dari penyembuhan psikologi saya,” ungkap Mugi.
(“
Saya menuliskan lagi cerita ini dengan
jantung berdebar. Saya berusaha melawan trauma, walau sulit. Amat sulit.
Saya tidak bisa melupakannya. Saya hanya bisa mengelolanya dan
menyimpan memori ini untuk dijadikan energi hidup yang positif,” tulis Mugi dalam situs pribadinya.)
Peradilan HAM adhoc
Upaya pengungkapan kasus penculikan terhadap
aktivis pada periode 1997 dan 1998, belum seperti yang diharapkan,
demikian kesimpulan para pegiat HAM.
"Ada
juga sarana siksa yang sangat mengerikan, para penculik sengaja
memperdengarkan suara jeritan orang lain yang sedang disiksa…"
Para pegiat HAM menyatakan, setidaknya masih ada
13 orang aktivis yang diculik pada periode itu yang masih belum jelas
nasibnya.
Pelaku utama yang diduga bertanggungjawab dalam kasus penculikan juga dianggap belum tersentuh sama-sekali.
Tuntutan pembentukan Peradilan HAM adhoc untuk
mengungkap kasus-kasus kekerasan tidak juga direalisasikan oleh
pemerintah, sementara Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang semula
diharapkan kini menguap begitu saja.
Tetapi, harapan Mugiyanto dan keluarga korban
penculikan sempat berbinar, ketika terdengar sayup-sayup bahwa Presiden
SBY menyetujui pembentukan Pengadilan HAM adhoc kasus penculikan
1997-1998.
Isyarat ini ditangkap oleh Dewan Pertimbangan
Presiden, Albert Hasibuan, Selasa, 19 Maret 2013 lalu, yang kemudian dia
utarakan kepada media.
“Waktu itu presiden mengatakan diadakan
persiapan-persiapan pada para menteri untuk mendirikan pengadilan HAM ad
hoc," kata Albert.
Para aktivis HAM menuntut pelaku utama penculikan diadili melalui peradilan HAM adhoc.
Informasi penting ini, tentu saja, agak melegakan Mugiyanto, ketika kali pertama mendengarnya.
“Kami sudah senang, dan mengharap itu
direalisasikan,” kata Mugi, yang masih dipercaya sebagai Ketua IKOHI,
Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia.
Belakangan, informasi itu dibantah oleh Menteri
Koordinator Politik dan Keamanan Djoko Suyanto. Dia mengatakan, Albert
Hasibuan salah menafsirkan pernyataan Presiden.
Menurutnya, Presiden SBY meminta agar kasus
dugaan pelanggaran HAM masa lalu diselesaikan secara komprehensif,
secara total dan keseluruhan.
Djoko Suyanto juga menyatakan, peradilan HAM
adhoc belum bisa digelar, karena Komnas HAM menurutnya belum menyebut
siapa pihak yang bertanggungjawab.
“Bukan hanya institusi (yang disebut), melainkan orang… Komnas HAM belum sampai ke situ,” kata Djoko, Kamis, 21 Maret 2013 lalu.
Tidak boleh terulang
Kejaksaan Agung sejauh ini telah berulangkali mengembalikan berkas penyelidikan yang dimajukan Komnas HAM sejak 2006 lalu.
Alasannya, pengadilan HAM ad hoc belum terbentuk
dan telah digelarnya pengadilan militer untuk kasus ini (yaitu terhadap
11 orang pelaku lapangan yang tergabung dalam Tim Mawar, yang merupakan
tim kecil bentukan Kopassus, TNI Angkatan Darat).
Hasil penyelidikan Komnas HAM, yang digelar
sekitar enam tahun silam (2005-2006), menyatakan, sudah ada bukti
permulaan yang cukup untuk menyimpulkan terjadinya kejahatan terhadap
kemanusiaan.
Mugiyanto
menyatakan, peradilan HAM adhoc penting digelar agar siapapun yang
berkuasa, tidak boleh mentolerir tindakan menghilangkan orang secara
paksa.
Ketua Komnas HAM saat itu, Abdul Hakim Garuda
Nusantara menyatakan, ada bukti permulaan pelanggaran HAM berat dalam
kasus penculikan aktivis 1997-1998.
Menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM ini, DPR
pada September 2009 kemudian meminta Presiden Yudhoyono memerintahkan
Jaksa Agung melakukan penyelidikan atas kasus ini.
Menurut Mugi, apa yang dilakukan Komnas HAM dan sikap DPR ini merupakan upaya kemajuan dalam penyelidikan kasus penculikan.
Tetapi, menurutnya, “kemajuan-kemajuan tersebut tidak kemudian ‘ditutup’, tidak kemudian disimpulkan oleh pemerintahan SBY”.
“Padahal,” lanjutnya, “ini tinggal sedikit (langkah penuntasannya).”
“Sehingga sekarang semua menjadi menggantung,” kata Mugi, agak masygul.
Tetapi, apa pentingnya pembentukan peradilan HAM adhoc ini? Tanya saya lagi.
Dengan nada tegas, Mugi menyatakan, peradilan ini sangatlah penting.
“Peradilan HAM adhoc itu hanyalah salah-satu
cara yang seharusnya diambil pemerintah, tetapi dia sangat penting,”
tegas Mugiyanto, yang kini meneruskan kuliah di Universitas Kristen
Indonesia, UKI.
“Selain memberi
punishment (hukuman)
kepada para pelaku dan mereka yang bertanggungjawab, adalah juga untuk
memberi pesan kepada masyarakat Indonesia, kepada siapapun yang berkuasa
ke depan, bahwa tindakan menghilangkan orang secara paksa, itu tidak
boleh ditolerir, tidak boleh terulang,” tandasnya.
Diselidiki bertahap
“Tapi dia (pengadilan HAM adhoc) bukan satu-satunya jalan,” imbuh Mugi cepat-cepat.
Menurutnya, ada cara lain yang juga harus dilakukan untuk melengkapi proses peradilan.
"Tapi
dia (pengadilan HAM adhoc) bukan satu-satunya jalan. Kita mengenalnya
sebagai mekanisme non judicial. Jadi korban menjadi perhatian utama
untuk didengarkan keterangannya, untuk dipulihkan hak-haknya..."
“Kita mengenalnya sebagai mekanisme non judicial,” katanya.
Inilah Komisi Kebenaran, kata Mugi, yang dipusatkan kepada para korban.
“Jadi korban menjadi perhatian utama untuk
didengarkan keterangannya, untuk dipulihkan hak-haknya, dan sebagainya,”
kata pria kelahiran Jepara, Jawa Tengah, ini.
Faktanya sekarang, peradilan HAM adhoc belum
dibentuk dan Komisi Kebenaran tidak jelas rimbanya, menyusul keputusan
MK yang membatalkannya? Tanya saya.
“Sampai saat ini memang jalan di tempat,” aku
Mugi, menyusul keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan
Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Sejauh ini, pemerintah dan DPR belum menyiapkan
UU KKR yang baru, walaupun dua tahun silam, draf RUU yang baru telah
diserahkan ke Sekretariat Negara, pada pertengahan September 2010 lalu.
Namun demikian, menurut Mugi, penyelesaian kasus penghilangan paksa aktivis 1997-1998 “bisa dilakukan secara bertahap”.
“Mulai dari apa yang paling diharapkan oleh
keluarga korban, (yaitu) supaya mereka mengetahui apakah orang-orang
yang mereka kasihi, anak-anak mereka sayangi, suami mereka, masih hidup
atau sudah meninggal. Mereka ingin kepastian itu,” tegasnya.
Saling menguatkan
Bagaimanapun, Mugi, IKOHI dan lembaga lain
seperti Kontras, terus melakukan berbagai upaya untuk mendesak agar
kasus penculikan aktivis 1997-1998 dituntaskan.
Selain berupa aksi-aksi unjuk rasa di depan
Istana Merdeka ( melalui “Aksi Kamisan”), Mugi dan kawan-kawan juga
melakukan berbagai upaya melalui lobi di DPR (yang pernah membuahkan
rekomendasi DPR agar pemerintah menyelesaikan kasus penculikan, pada
2009 lalu) hingga kampanye di luar negeri.
Keluarga korban kasus penculikan terus menjalin kontak untuk saling menguatkan.
Ke depan, menurutnya, pihaknya juga terus melakukan komunikasi dengan Menkopolhukam, dan orang-orang di sekitar Presiden SBY.
“Kalau kami tidak bisa bertemu Presiden SBY, kami akan temui orang-orang dekatnya,” katanya dalam sebuah wawancara.
Tetapi, bagaimana Anda dan keluarga korban bisa
mampu menjaga energi, sehingga mampu menjaga stamina untuk terus
mendesak penyelesaian kasus ini?
"Karena,
dari saling menguatkan, timbul semangat atau pengetahuan kesadaran
bahwa kita tidak sendiri, bahwa yang menjadi korban tidak sendiri, dan
karena yang menjadi korban tidak sendiri, maka yang berjuang tidak
sendiri..."
Rupanya, semenjak mereka mendirikan IKOHI
sekitar lima belas tahun silam, diantara keluarga korban kasus
penculikan, melakukan apa yang disebut Mugiyanto sebagai upaya “saling
menguatkan”.
“Ya , karena dengan kata menguatkan itulah, yang
kemudian melandasi berdirinya IKOHI,” kata Mugi, yang baru saja
dikaruniai anak kedua, Minggu, 14 April 2013 lalu.
“Karena,” kata Mugi, “dari saling menguatkan,
timbul semangat atau pengetahuan kesadaran bahwa kita tidak sendiri,
bahwa yang menjadi korban tidak sendiri, dan karena yang menjadi korban
tidak sendiri, maka yang berjuang tidak sendiri.”
Menurut Mugi, salah-satu cara paling sederhana yang terus dilakukan adalah “bertelepon dan berkirim surat”.
“Itu menjadi elemen yang luar biasa untuk menguatkan korban,” ungkap Mugi yang mengaku hobi berkebun di halaman depan rumahnya.
Didukung keluarga
Secara khusus Mugi menyebut ayah dan ibunya, sebagai dua sosok penting dalam perjalanan hidupnya.
“Mereka dua orang yang luar biasa, yang mendukung apa yang saya lakukan selama ini,” ungkapnya.
Dia kemudian mengungkapkan sebuah momen tidak
terlupakan, yaitu ketika ayahnya menemuinya di tahanan Polda Metro Jaya,
setelah kelompok penculiknya menyerahkannya kepada aparat kepolisian.
Mugiyanto mengaku, kedua orang tuanya, istri dan anaknya, merupakan orang-orang luar biasa dalam perjalanan hidupnya.
Dia mengaku, saat itu merasakan kesedihan luar biasa, saat ayahnya dan kakaknya menjenguknya di ruang tahanan.
Sang ayah, menurutnya, tetap mendukung apa yang dilakukannya.
Restu orang tua ini pula yang menjadi pendorongnya untuk tetap yakin atas pilihan perjuangannya.
Mugiyanto kemudian menyebut istrinya, Mutiara
Taripar Pulo, serta anak pertamanya, Binar Mentari Malahayati, sebagai
dua orang yang mampu membuatnya tetap bersemangat dalam memperjuangkan
korban kasus penculikan.
“Anak saya, masih berusia 12 tahun, tapi dia
inspirasi luar biasa buat saya,” ungkap Mugi, seraya menambahkan bahwa
anaknya mengetahui bahwa dirinya pernah menjadi korban penculikan.
“Dan dia bangga,” tambah Mugi. “Dia bercerita kepada teman-teman sekolahnya”.
Dia memberikan sebuah contoh, ketika anaknya
ikut membagikan buku yang diterbitkan IKOHI seputar kasus penculikan,
kepada teman-temannya.
“Bagaimana dia dengan bangga membagikan buku itu
kepada teman-temannya,” kata Mugi, yang saat ini berambisi menulis buku
tentang apa yang pernah dia alami.
“Itu menurut saya, juga sumber dari kekuatan, motivasi yang saya dapatkan dari orang-orang terdekat saya,” papar Mugi.
Mau memaafkan?
“Saya bisa memaafkan, tapi ada syaratnya,” kata
Mugiyanto, ketika saya tanya, apakah suatu saat dia dapat memaafkan
pelaku utama penculikan atas dirinya.
“Syarat-syaratnya, tentu saja, dia harus mengakui bersalah,” tegasnya.
“Tapi ini secara personal”, katanya, menambahkan cepat-cepat.
"Ya
mengakui bahwa itu tindakan yang salah, kemudian minta maaf, kemudian
dia harus memperjelas mengapa dia melakukan itu...Dan lebih dari itu,
bagaimana dengan orang-orang yang saat itu bersama saya (yang kemudian
tidak kembali), itu ada di mana?"
“Kalau secara publik, lain lagi ya”.
Menurutnya, aksi penculikan yang kemudian
disertai penyiksaan atas dirinya, merupakan tindakan kejahatan yang di
luar batas-batas kemanusiaan.
“Tetapi
toh sebagai pribadi, saya masih membuka pintu permaafan, tapi dengan syarat-syaratnya,” tandasnya.
“Ya mengakui bahwa itu tindakan yang salah, kemudian minta maaf, kemudian dia harus memperjelas mengapa dia melakukan itu.
“Dan lebih dari itu,” tambahnya, “bagaimana
dengan orang-orang yang saat itu bersama saya (yang kemudian tidak
kembali), itu ada di mana?”
“Setelah semuanya
clear, saya pikir
secara personal, saya bisa memaafkan,” tegas Mugi, yang mengaku
belakangan membaca sejumlah buku karya Michael Sandel, ahli filsafat
politik dan guru besar di Universitas Harvard, AS.
Menanggapi sejumlah korban penculikan yang
memilih terjun ke politik dan bergabung dengan partai politik yang
didirikan mantan jenderal yang diduga terlibat penculikan, Mugiyanto
mengaku “kecewa”.
“Apa yang saya terima dari senior-senior kami,
itu bukan yang seperti itu, bukan yang kemudian berpihak pada orang yang
melakukan kekerasan kepada kami, bukan orang yang melakukan tindakan
represi kepada kami,” jelasnya.
“Tapi kemudian, saya lebih reseptif, bahwa ‘ya
sudah memang itulah pilihan dia',” kata Mugiyanto, yang mengisi waktu
luangnya antara lain dengan menonton Liga Primer Inggris, sekaligus
menutup wawancara yang berlangsung sore di kantor BBC Jakarta.