Senin, 13 Mei 2013

PROFILE AA NGURAH PUSPAYOGA CALON GUBERNUR BALI 3013 - 2018. NO 1.



Profile AA Ngurah Puspayoga

www.PilkadaBali.com

Ditempa Jaman, Teguh Menolak Godaan


SUATU Hari  di pertengahan bulan Juli tahun 1982, remaja Puspayoga masih berada di bangku kelas III Sekolah Menengah Pertama (SMP). Tapi penugasan penting sudah diberikan ayahnya Cok Sayoga yang saat itu adalah Ketua DPD Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Bali.  Ia ditunjuk menjadi salah-satu saksi partai pada pemilihan umum. Tak tanggung-tanggung lokasinya adalah di asrama Brimob Polda Bali yang bersebelahan dengan GOR Ngurah Rai.
Penugasan itu diterimanya dengan suka cita karena ia belum sadar akan bahayanya. “Baru setelah itu saya tahu, tak seorang pun berani ditempatkan disana,” ujarnya. Awalnya, pencoblosan memang berlangsung mulus dengan adanya kejutan karena  di TPS yang menjadi basis partai pendukung pemerintah itu, ternyata PDIP bisa mendapat 17 suara.
Nah, ketika hendak pulang dan mengambil motor di tempat parkir, barulah Puspayoga mendapat serangan fisik dari sejumlah pria dewasa. Tiba-tiba mereka berusaha memukulinya tanpa alasan yang jelas. Untungnya, dengan berbekal ilmu silat yang diwariskan ayahnya, dia berhasil untuk terus berkelit sampai petugas keamanan melerai mereka.
Peristiwa itu ternyata tak membuat sang ayah berhenti melibatkan Puspayoga di dunia politik. Berbagai aktivitas partai terus diikutinya. “Saat itu memang sangat sulit mencari orang yang mau terlibat karena tekanannya sangat kuat,” katanya.  Hal ini pula yang menyebabkan Puspayoga gagal untuk bersekolah di Australia pada tahun 1984.
Ceritanya, setelah lulus Sekolah Menengah Atas (SMA), ia ingin melanjutkan pendidikan tinggi di negara Kangguru itu. Karena itu, Puspayoga kemudian mengambil program matrikulasi untuk kemampuan berbahasa Inggris. Tapi setelah lebih dari satu tahun menjelang masuk ke Universitas, tiba-tiba sang Ayah memanggilnya pulang untuk mengurus Partai. Ia pun kemudian melanjutkan pendidikan di jurusan sosial politik Universitas Ngurah Rai.
Di sela-sela kesibukan, diskusi dengan sang ayah terus berlanjut.  Satu ajaran yang dikenangnya adalah pesan sang ayah untuk melakoni ajaran kakek buyutnya,  Raja Badung Tjokorda Ngurah Made Agung yang meninggal dalam Puputan Badung  20 September 1906. Ajaran itu menyebut adanya “Mati tan tumut pejah” atau “Kematian yang bukan Kematian”. Yakni ketika seorang pemimpin mati demi kebaikan dan  kebenaran. “ Prinsip itulah yang saya terapkan dalam berpolitik hingga saat ini,” ujar Puspayoga.
Keteguhan hatinya telah terbukti di jaman PDI mengalami kesengsaraan di masa Orde Baru. Setiap kali pemilu dilaksanakan, maka tekanan itu makin kuat hingga terjadi bentrokan secara fisik dimana-mana. Puncaknya adalah ketika PDI dipecah-belah dengan menyempalnya kelompok Soerjadi dari kepemimpinan Megawati dengan dukungan dari kekuasaan. Pada pemilu 1997, PDI Pro Mega dilarang untuk ikut pemilu sehingga harapan untuk berperan di kancah politik formal seperti tertutup.
Saat itu, Puspayoga malah ditunjuk untuk memimpin DPC PDI Denpasar i. “Saya terima kepercayaan itu dengan segala resikonya,” ujarnya. Ternyata kemudian, masa-masa sulit itu tak berlangsung lama karena pada tahun 1998 Soeharto jatuh dan reformasi mulai bergulir. Karir politik Puspayoga pun melejit mulai dari jabatan Ketua DPRD Denpasar, Walikota Denpasar dan kini, Wakil Gubernur Bali.
Semangat perjuangan kini diterjemahkannya dalam berusaha memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat serta menolak godaan korupsi. “Karena itu ketika menjadi walikota, saya justru mengundang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memberikan pendampingan,” ujarnya. Ia pun ingin mencegah adanya pejabat yang harus masuk korupsi hanya karena kesalahan menafsirkan aturan. Adapun untuk mencegah kolusi,  dia adalah kepala daerah pertama di Bali yang mendirikan dinas perijinan guna menerapkan transparansi proses dan peraturan. Sebelumnya, pengurusan ijin tersebar di sejumlah SKPD sehingga rawan kolusi dan kurang efektif.
Puspayoga pun membuktikan komitmennya menghindari conflict of interest (benturan kepentingan) dengan melepaskan semua jabatan lain yang disandangnya ketika telah dilantik sebagai pejabat publik. Jabatan Ketua DPC PDIP Denpasar dilepasnya saat menjabat sebagai Walikota dan sampai saat ini dia menolak untuk menduduki jabatan di partai.
Sikap Puspayoga itu mendapat dukungan kuat dari keluarganya. Dia beruntung karena kekayaan harta benda bukan tujuan utama dari keluarga ini. Kedamaian dan ketulusan hati serta kesediaan untuk berbagi  menjadi pilar-pilar utama yang ditanamkan guna  meneguhkan peran dalam  menjaga kelestarian alam dan budaya Bali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar